Tak usah mencariku, takkan lagi kita bertemu. Jika kelak kau rindu, bukalah sembilan keping surat ini. Surat yang sengaja aku siapkan, agar kelak kau paham bahwa aku selalu ada untukmu. Walaupun engkau tak berpikir sebaliknya, maka setidaknya surat ini bisa sebagai pengobat rindu. Lewat surat-surat ini, semua tangis, senyum, harap dan getir aku simpan. Hei, aku tak pernah membuat surat untuk siapa pun. Spesial sekali bukan? Sampai sembilan keping, semuanya untukmu. Jika kau bertanya, kenapa tak ada surat ke sepuluh? Jawabnya aku juga tak tahu. Surat ke sepuluh itu, tak pernah benar-benar aku buat. Tintanya habis dan kering. Sialnya aku, tinta itu tak lagi bisa diisi ulang. Yang jelas, ini hanya untuk satu orang. Hanya untuk kamu.
Paket untuk Pikiranmu ini terdiri dari tiga novel: Kami (Bukan) Sarjana Kertas Kami (Bukan) Jongos Berdasi Melangkah Kami (Bukan) Sarjana Kertas: Di Kampus UDEL, terjebaklah tujuh mahasiswa yang hidup segan kuliah tak mau. Mereka terpaksa kuliah di kampus yang google saja tak dapat mendeteksi. Cobalah sekarang Anda googling "Kampus UDEL," takkan bertemu! Alasan mereka masuk UDEL macam-macam. Ada yang otaknya tak mampu masuk negeri, ada yang uang orangtuanya tak cukup masuk swasta unggul, ada pula yang karena… biar kuliah aja. Hari pertama kuliah, Ibu Lira Estrini - dosen konseling yang masih muda - menggemparkan kelas dengan sebuah kejadian gila, lucu dan tak masuk akal. Ia membawa sekotak piza dan koper berisi tikus. Seisi kelas panik, tapi anehnya, semangat para mahasiswa buangan ini justru terbakar untuk berani bermimpi! Akankah mereka bertahan di kampus yang amburadul ini? Sekalipun iya, bisakah mereka jadi sarjana yang tidak sekadar di atas kertas? Buku ini wajib dibaca pelajar SMA, mahasiswa, para orangtua, karyawan, petinggi perusahaan, para pengambil kebijakan di institusi pendidikan, anak start-up, anak muda berkarya, pengemudi ojek online, abang ondel-ondel, hingga Presiden Korea Utara agar kita dapat memutuskan seberapa penting sebenarnya nilai sebuah ijazah. Kami (Bukan) Jongos Berdasi: Alumni Kampus UDEL kini telah lulus. Masuk ke dunia nyata yang penuh tikus. Ada yang bertahan, ada yang sebentar lagi mampus. Kerja di Bank EEK? Ada. Kerjanya pindah terus? Ada. Bimbang ikut keinginan orangtua atau ikut kata hati? Ada. Apa lagi pengangguran banyak acara, pasti ada. Namun, diam-diam ada juga yang karirnya lancar, gajinya mekar, dan jodohnya gempar menggelegar. Mendapat intimidasi dari rekan kerja, lingkungan, dan keluarga itu sudah biasa. Mendapat cemoohan bagi yang ingin berkarya, jelas jauh lebih biasa. Menerima perlakuan semena-mena, hingga tertawaan dan hinaan adalah sarapan pagi. Akankah mereka bertahan di dunia nyata yang penuh intrik ini? Atau mereka harus jadi jongos berdasi, pura-pura mampu beradaptasi, dengan tantangan dunia yang terus gonta-ganti? Buku ini wajib dibaca oleh pelajar SMA, mahasiswa, para orangtua, karyawan, petinggi perusahaan, para pencari kerja, mereka yang ingin berkarya, para pengambil kebijakan di berbagai institusi, hingga Presiden Korea Utara agar kita bisa memutuskan, apakah besok kita libur atau kerja dan berkarya. Buku kedua dari serial novel “Kami (Bukan) Sarjana Kertas.” Melangkah: Listrik padam di seluruh Jawa dan Bali secara misterius! Ancaman nyata kekuatan baru yang hendak menaklukkan Nusantara. Saat yang sama, empat sahabat mendarat di Sumba, hanya untuk mendapati nasib ratusan juta manusia ada di tangan mereka! Empat mahasiswa ekonomi ini, harus bertarung melawan pasukan kuda yang bisa melontarkan listrik! Semua dipersulit oleh seorang buronan tingkat tinggi bertopeng pahlawan yang punya rencana mengerikan. Ternyata pesan arwah nenek moyang itu benar-benar terwujud. “Akan datang kegelapan yang berderap, bersama ribuan kuda raksasa di kala malam. Mereka bangun setelah sekian lama, untuk menghancurkan Tanah Nusantara. Seorang lelaki dan seorang perempuan ditakdirkan membaurkan air di lautan dan api di pegunungan. Menyatukan tanah yang menghujam, dan udara yang terhampar.” Kisah tentang persahabatan, tentang jurang ego anak dan orangtua, tentang menyeimbangkan logika dan perasaan. Juga tentang melangkah menuju masa depan. Bahwa, apa pun yang menjadi luka masa lalu, biarlah mengering bersama waktu.
DigiCat Publishing presents to you this special edition of "A Manual of the Malay language" (With an Introductory Sketch of the Sanskrit Element in Malay) by William Edward Sir Maxwell. DigiCat Publishing considers every written word to be a legacy of humankind. Every DigiCat book has been carefully reproduced for republishing in a new modern format. The books are available in print, as well as ebooks. DigiCat hopes you will treat this work with the acknowledgment and passion it deserves as a classic of world literature.
Pertemuan pertama antara Qaseh Hazwani dan Ikmal Hisham membibitkan rasa benci dan prasangka. Namun, dalam diam masing-masing menyimpan rasa hati. Sayangnya, rasa cinta itu dipendamkan kerana diracuni salah sangka. Ikmal bukan mata keranjang biarpun Lydia tergila-gilakannya setengah mati. Hanya Qaseh yang tidak mengerti perasaannya. Lydia yang kecewa nekad mahu mengenakan Qaseh. Tindakan Lydia telah menghancurkan kepercayaan Qaseh terhadap Ikmal. “Awak dah salah sangka pada saya. Saya bukannya nak kahwin dengan dia. Saya tahu awak bencikan saya kerana peristiwa tu. Bagi awak, saya ni lelaki yang tak bermaruah, lelaki yang suka berpoya-poya dan gatal. Itu yang awak fikir tentang saya, kan? Saya sayangkan awak dan nak awak jadi isteri saya.” Ikmal merayu. Malangnya, Qaseh sudah nekad untuk pergi jauh. Ikmal semakin panasaran. Seorang pergi, seorang lagi menanti… Di manakah titik pertemuan mereka? “Cinta datang sendiri dan kita tak perlukan sebab untuk jatuh cinta...”
Migration in the Time of Revolution explores the complex relationship between China and Indonesia from 1945 to 1967, during a period when citizenship, identity, and political loyalty were in flux. Taomo Zhou examines the experiences of migrants, including youths seeking an ancestral homeland they had never seen and economic refugees whose skills were unwelcome in a socialist state. Zhou argues that these migrants played an active role in shaping the diplomatic relations between Beijing and Jakarta, rather than being passive subjects of historical forces. By using newly declassified documents and oral history interviews, Migration in the Time of Revolution demonstrates how the actions and decisions of ethnic Chinese migrants were crucial in the development of post-war relations between China and Indonesia. By integrating diplomatic history with migration studies, Taomo Zhou provides a nuanced understanding of how ordinary people's lives intersected with broader political processes in Asia, offering a fresh perspective on the Cold War's social dynamics.